Senin, 20 September 2010

letologi

Dalam Quran disebutkan, faktor utama penyebab maju dan mundurnya masyarakat adalah manusia itu sendiri (QS. Al-Anfal: 33 dan ar-Ra’d: 41). Dengan demikian, maju dan mundurnya umat Islam hanya dapat dijelaskan dengan menganalisis motivasi, usaha, karakter, dan kepribadian mereka sendiri. Tonybee dalam A Study of History (1935) juga berpendapat sama: “peradaban mati karena bunuh diri, bukan karena pembunuhan.” 
Aspek penting lainnya dari studi buku ini adalah ulasannya tentang isu-isu seputar peradaban Islam dalam konteks miliu global. Penulis sengaja memaparkan asal mula tantangan yang bersifat multidimensi, juga menawarkan gagasan segar dengan aneka argumen rasional untuk melawan strategi reformasi parsial yang telah ada. Pembelaan Chapra dengan sebuah pendekatan holistiknya berjalan seirama dengan etos sejarah umat Islam yang menekankan aspek keadilan dan pemerataan bagi umat manusia.
Chapra dalam buku ini berhasil mengurai sebuah visi bagi masyarakat dan ekonomi Islam yang ditegakkan di bawah naungan paradigma Islam. Menurutnya, strategi-strategi yang bersumber dari paradigma sekuler dan materialis telah mengesampingkan dimensi moral dan terbukti gagal menciptakan kemakmuran. Namun, sayangnya, selama beberapa abad terakhir, dunia Islam Islam merefleksikan potret buram dan tampak semakin jauh dari realisasi visi tersebut.
Kenyataannya, umat Islam masa kini seperti antitesis dari umat Islam masa keemasan dahulu. Jika kita mendengar kata keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan, secara spontan kita teringat pada umat Islam. Seakan-akan telah terjadi missing link atau mata rantai yang terputus dalam sejarah umat Islam.
Melalui buku ini Chapra telah melakukan sebuah telaah baru terhadap sejarah dan peradaban Islam modern, mengungkap pengalaman sejarah umat Islam secara umum dan menerapkan analisis sejarah yang dikembangkan oleh Ibnu Khaldun secara khusus. Sementara penjelasan Ibnu Khaldun terkait jatuh bangunnya sejarah Islam dapat disimak dalam Muqaddimah (1967).
Ibnu Khaldun dalam karya monumentalnya itu menawarkan sebuah model analisis yang cukup komprehensif, selain dapat mengidentifikasi faktor-faktor penentu kemajuan dan kemunduran umat Islam, juga menyelami berbagai masalah yang dihadapi masyarakat muslim. Ia berupaya mengungkap kekuatan dan kelemahan umat Islam dalam pancaran nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Quran dan hadis. 
Alhasil, satu pelajaran kunci dari penelusuran sejarah Islam masa lalu, bahwa Islam telah menyelamatkan kaum muslim dari masa-masa krisis yang mereka hadapi, bukan sebaliknya. Dengan kata lain, sejarah Islam telah memberikan sumber inspirasi dan menjadi pokok penentu kebangkitan dan regenerasi umat Islam.
Garis pemikiran semacam ini, tentu berbeda secara diametrik dengan pendekatan yang dikembangkan oleh para orientalis dan sarjana Barat dalam memandang Islam. Mereka menilai Islam berikut nilai-nilai di dalamnya sebagai biang kemunduran kaum muslim, tanpa menyadari bahwa seluruh episode penting  dari masa keemasan sejarah Islam adalah bersumber dari Islam itu sendiri.
  
Ahmad Fatoni
Pengajar Bahasa Arab FAI Universitas Muhammadiyah Malang

halaqah

Pola Halaqah Dan Talaqqi

            Yang digaris atasi  dalam buku yang ditulis anggota Dewan Syura Hidayatullah kelahiran Gresik 40 tahun yang lalu ini, bahwa kurikulum yang dijadikan sumber rujukan yang tidak pernah kering oleh Rasulullah SAW untuk menterapi patologi sosial bangsanya adalah sistematika nuzulnya wahyu dalam bentuk halaqah ta’lim (lingkar studi) dengan sistem talaqqi (menghadap kepada seorang guru). Beliau dipandu langsung oleh malak Jibril as. ketika menerima wahyu. 
Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya [Rasulullah SAW dilarang oleh-Nya menirukan bacaan Jibril as. kalimat demi kalimat, sebelum Jibril as selesai membacakannya agar beliau menghafal dan benar-benar faham ayat yang diturunkan]. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya (QS. Al Qiyamah (75) : 16-19).
            Ada sebuah ungkapan ahli hikmah yang bisa memperkuat dua pola transformasi ajaran tersebut :
مَنْ لَيْسَ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ شَيْطاَنٌ
            Barangsiapa yang tidak memiliki pembimbing spiritual dalam berislam (syaikh, guru ahli) maka pemandunya adalah syetan.
            Dalam berinteraksi dengan sistematika nuzulnya wahyu ada dua pendekatan fundamental, sebagai konsep (fikrah, tashawwur, wijhah) dan sebagai sistem atau aksi (manhaj, kaifiyyah). Sebagai konsep ayat yang pertama kali turun, al ‘Alaq – perintah iqra (bacalah) -  sebagai suatu materi kajian, subtansinya adalah melahirkan teologi berpikir (berijtihad). Cara cerdas memahami ajaran. Karena itu, Islam ini dipikulkan kepada yang berfikir dewasa (mukallaf). Maka, teologi islam adalah teologi pencerahan, penyadaran. Kehadiran Islam ini bukan dengan pendekatan kekerasan, tetapi mengedepankan cara-cara yang menyejukkan dan keteladanan.
            Sebagai sistem, menyiratkan adanya celupan wahyu (manhaj, kaifiyyah). Artinya segala gerak aktifis dalam organ Hidayatullah dilandaskan pada aturan al Quran. Bukan menunggu turunnya wahyu, sebab wahyu sudah tidak akan turun lagi. Wahyu, sebagai spirit, prinsip dan paradigma gerakan. Pula wahyu sebagai minhajul hayah (tata acuan kehidupan).
 Kalau kita cermati lebih dalam, wahyu ini memang bukan hanya sebagai makanan logika. Wahyu ini menyentuh rasa, menyentuh ruh manusia, sehingga kalau diinjeksikan kepada manusia ia akan menjadi utuh. Tidak seperti ilmu yang lain, bila disentuh logikanya ya hanya intlektualnya saja, kalau rasa ya rasanya saja sehingga kepribadian manusia retak-retak (split personality). Ayat Allah menyentuh semua instrumen, tanpa bertentangan dengan logika. Wahyu memuaskan ahlu naql (orang yang mengedepankan teks wahyu) dan ahlul ‘aql (orang yang mengutamakan logika), ahli tasawuf.
Dan Demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus (QS. Asy Syura (42) : 52).
Tahapan Menuju Muslim Ideal
            Sistematika wahyu yang selama ini dijadikan manhaj dakwah, tarbiyah dan jihad Hidayatullah adalah dimulai dari surat al ‘Alaq ayat 1-5 yang melahirkan sumber daya mukmin, al-Qalam 1-7 yang melahirkan sumber daya qur’ani, al-Muzzammil 1-10 yang memproduk sumber daya muttaqin, al-Muddatstsir 1-7 yang melahirkan sumber daya mujahid. Hanya sumber daya qur’ani yang memenuhi kelayakan untuk dirangkai dalam sebuah kultur dan struktur masyarakat al Fatihah (draft al Quran). Yang memiliki kesiapan untuk berinteraksi dengan nilai-nilai ummul quran (induk al Quran), akan mudah untuk memahami dan mengamalkan al Quran secara keseluruhan.
            Kita melihat sistematika wahyu sebagai sebuah tahapan berislam yang  sistematis. Pertama, kenalkan ummat akan Allah SWT terlebih dahulu (iman). Jika iman kokoh, tidak akan ada kekhawatiran tergelincir di tengah jalan. Kedua, antarkan untuk selalu butuh al Quran sebagai celupan dan acuan kehidupan. Ketiga, perbaiki struktur kepribadiannya dengan ibadah yang tekun (tabattul), shalat lail, baca al Quran, zikir, tawakkal, sabar, hijrah. Keempat, dorong agar memiliki kepekaan sosial untuk menyelamatkan ummat dari patologi sosial. Kelima, rakit mereka dalam suatu barisan yang rapi, yang memiliki kesiapan untuk diajak menuju jalan  Allah SWT. Sehingga menjadi ummat ijabah (komunitas yang mudah menyambut seruan-Nya) yang memiliki kekuatan untuk menyebarkan rahmat terhadap alam semesta.
            Saya memandang bahwa buku yang menjelaskan konsep tarbiyah, dakwah dan jihad ormas yang akan memasuki  kematangan usia (40 tahun) ini (“Hidayatullah” ) layak untuk dijadikan celupan/spirit dan acuan tata kehidupan oleh para pengambil kebijakan negeri ini, tokoh masyarakat, muballigh, pelajar dan mahasiswa, pemerhati sosial keagamaan, dengan harapan akan melahirkan inspirasi dan gelora baru dalam memetakan dan mengurai ketimpangan sosial.
Sekalipun demikian, buku yang diterbitkan oleh Pustaka Nun Di Kota Atlas,  ganti infaq cetak @ Rp. 75.000,- bersampul hard cover ini tidak bisa menghindari banyak kesalahan secara redaksional. Tetapi secara subtansial saya sependapat dengan harapan penulis, agar kehidupan kita yang didominasi oleh virus syubhat dan syahwat serta ghoflah (kelalaian) di era kontemporer ini, bisa disembuhkan. Sehingga beralih pada pola kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan bangsa,  merupakan turunan (derivat) dari celupan dan acuan wahyu. Agar karya tulis ini bisa dinikmati kalangan yang lebih luas, alangkah baiknya cetakan berikutnya ada edisi revisi redaksional secara total.
Kudus, 7 Juli 2010/28 Rajab 1431

power

Muslim Amerika Sudah Ada Sebelum 11 September

E-mail Print PDF
“Kanker” kebencian anti-Muslim yang menjangkiti AS sangatlah ganas, membuat identitas “Amerika” dan “Muslim” saling bertentangan

Hidayatullah.com--Saya tinggal di Harlem, di sebuah jalan terdapat tiga gereja dan sebuah masjid berada. Masjid ini bersebelahan dengan salah satu gereja. Ketika para jamaah lelaki berbaur di trotoar, siapa yang baru dari gereja dan siapa yang baru dari masjid, tidak bisa dibedakan. Hanya kerudung yang dikenakan sebagian para perempuan yang bisa membuat Anda tahu siapa yang baru saja dari masjid atau gereja.

Muslim Amerika tidak ditemukan pada 11 September 2001. Sejarah mereka di New York, dan juga di seluruh Amerika, jauh mendahului peristiwa itu. Kedatangan Muslim di Amerika yang paling awal bersamaan dengan datangnya kapal-kapal budak yang melintasi Atlantik.

Namun, “kanker” kebencian anti-Muslim yang menjangkiti seantero Amerika Serikat dewasa ini sangatlah ganas, sampai-sampai membuat identitas “Amerika” dan “Muslim” saling bertentangan. Hanya dalam sepekan, seorang pengemudi taksi ditikam di New York oleh seorang penumpang yang bertanya, apakah ia Muslim; seorang yang mabuk memaksa masuk ke sebuah masjid di New York dan mengencingi karpetnya; sebuah batu bata dilemparkan ke sebuah pusat kegiatan Islam di Madera, California; dan kebakaran di suatu bangunan masjid di Tennessee sedang diinvestigasi oleh FBI.

“Apa yang akan terjadi pada saya, ibu, saudari ipar, dan semua perempuan di Amerika yang mengenakan jilbab, dan tak perlu ditanya lagi apakah mereka benar Muslim?” tanya saudari saya, Nora, seorang mahasiswa pascasarjana.

Ini tidak hanya soal Park51, sebuah pusat kegiatan Islam dan masjid di pinggiran Manhattan, yang berjarak dua blok dari Ground Zero. Setidaknya ada empat rencana pembangunan masjid yang lain di Amerika, yang bermil-mil jauhnya dari “tanah keramat” itu, tengah menghadapi penentangan anti-Muslim.

Sebagian orang mencoba menyalahkan Imam Feisal Abdul Rauf, pemimpin Park51, lantaran memancing perasaan yang masih terluka akibat 11 September. Tapi menggambarkannya sebagai imam masjid yang mengail di air keruh cuma akan memperlihatkan amnesia tak termaafkan, di mana sebutan “Muslim” dibuat sebagai suatu hinaan di negara ini.

Meski Presiden George W. Bush muncul di sebuah masjid setelah peristiwa 11 September untuk menunjukkan bahwa ia tidak menganggap semua Muslim bertanggung jawab, toh pemerintahannya terus saja menunjukkan yang sebaliknya: pengadilan militer untuk orang-orang sipil, penjara-penjara rahasia, penahanan ratusan Muslim tanpa dakwaan, penyiksaan dan interogasi kasar para tahanan, serta invasi atas dua negara mayoritas Muslim.

Ketika kalangan Partai Republik “menuding” Presiden Barack Obama sebagai Muslim dalam kampanye presiden 2008, kalangan Partai Demokrat juga tidak sekali pun mengatakan, “Terus kenapa?”

Seseorang yang pernah menjadi penasihat strategi Menteri Luar Negeri Hillary Clinton, menyarankannya agar mengekspos kelemahan Obama pada 2007 ketika berkampanye untuk pemilihan kandidat presiden – dengan menggambarkan Obama terlalu asing dan eksotik untuk memimpin Amerika dalam situasi perang. Ia tidak menghiraukan nasihat itu, tapi tetap saja dalam kampanyenya menyebarkan foto-foto Obama yang mengenakan busana tradisional Somalia.

Kejadian-kejadian itu, juga yang lainnya, adalah langkah-langkah meniti tangga sikap fanatik yang sekarang dilakukan melalui pesona para tokoh politik. Ketika mantan kandidat Wakil Presiden sekaligus mantan Gubernur (Sarah Palin), mantan Ketua Parlemen (Newt Gingrich), dan sejumlah anggota parlemen menjajakan gambaran Muslim yang paling seram, tidak sulit untuk mengerti kenapa muncul kekerasan yang semakin kencang belakangan ini.

Saya tidak lupa aksi-aksi kekerasan atau upaya terorisme oleh orang-orang Muslim Amerika tahun lalu. Komunitas Muslim Amerika tidak mendiamkan ini. Mereka mengeluarkan sejumlah kecaman tapi juga menolak dianggap bersalah hanya karena seagama.

Dan kami menolak untuk cari aman. Kami tidak akan membiarkan orang-orang fanatik merusak tatanan Amerika. Orang-orang Muslim yang berbaur di luar masjid di tempat saya adalah miniatur Amerika. Kami memilih dalam pemilu – dan suara kami berarti, khususnya di negara-negara-bagian yang sulit diprediksi siapa pemenangnya. Pengemudi taksi yang ditikam di New York adalah satu dari ribuan Muslim yang merupakan 50 persen sopir taksi di New York City.

Orang-orang Muslim menjadi guru, komedian, dan bahkan Ratu Kecantikan Amerika sekarang, Rima Fakih. Dan kami adalah juga para dokter Amerika. Saya dan ipar saya, yang juga seorang dokter, tengah menyaksikan salah satu sinetron bertema kedokteran ketika ia menceritakan kepada saya sebuah kisah yang dengan apik merangkum semua fakta di atas: “Belum lama ini saya mengurus persalinan dengan disaksikan oleh ayah dari sang bayi lewat kamera Skype. Dia seorang prajurit di Afghanistan. Saya pun berpikir, nah inilah saya: seorang dokter Muslimah berjilbab yang mengurus kelahiran seorang bayi yang ayahnya seorang tentara Amerika di Afghanistan, sebuah negara Muslim.”

Ditulis Mona Eltahawy, seorang komentator dan jurnalis terkemuka yang tinggal di New York, sekaligus seorang dosen internasional tentang isu-isu Arab dan Muslim. [diambil dari Kantor Berita Common Ground]

Selasa, 14 September 2010

ferazzh


rancu memang apa yang saya rasakan dibenak dan kenyataan semua bertolak belakang dari perkiraan ,sudahya sudah semua suadah terlalu melesat juh yang pnting jangan ampai kebablasan apayang kita cemaskan dalam kehidupan yang singkat ini terlebih tepuruk an trjebak dalam install jelek.
lingkaraan yang wajar saja kita usahakan untuk selalu kita perbaiki luardalam atau depan belakang kita cpai yang lebih positif optimis menghaapi berbagai ujian2 silih beganti tiada henti,camkan itu

Selasa, 31 Agustus 2010

desk up

keinginan yang tak terbatas kadang menjadikan kita banyak serakah
masalah harian dalam rumah
kilat solusi yang amanah
lingkaran umpan dalam jatah
lingkup taqwa kita tercemar materi
install tiap saat
input output dari luar dirikita
terima qanaahdan low profil
misalnya kita ambil hikmah cerita

renungan

Asalam ,kilasan minggu ini
aktivasi tiada kenal lelah untuk mencapai hasil maksimal oleh karenanya kita sebagai manusia biasa hanya bisa pasrah ,ihtiar tawakal sebisanya umpan apapun akan menyebabkan kita tahu seberapa jauh kita melangkah ,maju mundur ataupun ingin berhenti,itu tergantung diri kita masing2 .Adakalanya kita terpuruk ada pula saat kita succes diantaranya belantara naib atau takdir yang tak kalah sempurna menurut ukuran ilmu yang kita punya ,baik buruknya juga kita sendiri yang akan menjalaninya.bukan begitu guys.